Menakut-nakuti anak atau goshting culture menjadi salah satu hal yang banyak ditemukan di lingkungan masyarakat. Sayangnya, orang-orang pada umumnya turut mengamini kebiasaan ini.
Padahal kebiasaan goshting culture di usia belia bukanlah menjadi salah satu hal yang bersifat bagus, alih-alaih malah berbahaya untuk tumbuh kembang dan mental anak.
“Sarapanya harus dihabisin, kalau tidak nanti mama panggilkan pak gendut loh”
“kalau rewel terus, nanti kamu papah panggilin pak polisi, biar ditangkap terus dibawa”
“Kalau rewel nanti biar disuntik budokter ya nanti”
Pernah menjumpai orang tua yang menakuti anak-anak mereka dengan sebuah ancaman seperti diatas ?
Seperti yang disampaikan Lita Widyo @WidyoLita, seorang psikolog. dalam utasnya menyebutkan bahwa goshting culture dengan menakuti dan mengancam anak seperti model diatas memang cukup ampuh membuat anak nurut dan patuh pada orang tuanya. Sehingga banyak orang tua melakukan hal ini sampai turun temurun, karena dianggap paling efektiv, mudah dan cepat.
Terpaksa profesi mulia seperti dokter, guru, polisi, tentara dihadirkan pada imajinasi anak-anak sebagai sosok yang menyeramkan bagi anak-anak yang rewel, mogok makan dan tidak nurut.
Hantu dan Genderuwo yang Tidak Bersalah Jadi Ikut-ikutan
Disamping profesi diatas yang turut dilibatkan orang tua, Lita Widya juga menambahkan sebagai umpan lainya, seperti monster, hantu, genduruwo, wewe gombel, kunti, mak lampir, dan kawan-kawanya.
Teknik goshting culture seperti ini pada anak usia play group dan TK dinilai bisa efektif dan para anak-anak akan mulai mampu menghadirkan bayangan imaji dalam fikiranya dengan bantuan verbal dan gambar.
Jadi ketika orang tua mengatakan “nanti diculik genderuwo lho”, si anak akan langsung membayangkan sosok tinggi besar nan menyeramkan, bertaring dan menakutkan sekali.
Sama seperti halnya ketika orang tua menyebut kata “dokter”, sianak akan membayangkan sosok dokter dengan jas putih dan kemanapun membawa jarum suntik yang besar dan menakutkan, seperti yang sering dikatakan mama dan papanya.
Resiko dan Pengaruh Ghosting Culture pada Pola Pikir Anak
Yang perlu diingat bahwa anak akan cepat sekali berkembang, berbeda dengan kita sebagai orang dewasa yang cenderung stagnan. Anak bertumbuh fisik sekaligus penalaranya. Dia akan faham apa saja yang logis dan mana yang tidak.
Lambat laun dia akan menyadari bahwa orang tuaanya selama ini serius dan meyakinkan, ternyata bohong, hanya isapan jempol belaka.
Dampaknya adalah gagalnya manajemen sistem model ini dan tentunya bisa jadi hilangnya rasa kepercayaan anak pada orang tuanya sendiri.
Risiko lainya alih-alih anak menurut, malah yang terjadi bisa lebih dari itu, anak akan dibayang-bayangi rasa takut, ancaman, dan histeris pada sosok yang dimanfaatkan orang tuanya untuk menakut-nakutinya atau bertindak sebagai goshting culture.
Perasaan takut dan tidak aman yang terlalu sering dihadirkan dalam fikiran, akan berisiko tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri, jauh dari rasa aman dan kehilangan sebagian dari kebahagiaan anak-anak normal pada umumnya.
Siapa yang bisa menjamin bahwa anak tidak akan pernah berurusan pada sosok yang selama ini dijadikan objek orang tua untuk menakuti mereka.
Secara sadar maupun tidak, kita mengajari anak melabeli buruk sosok-sosok tersebut. Menggiring fikiran untuk menghindari, memunculkan rasa takut dan menumbuhkan kebencian.
Solusi Goshting Culture dan Cara yang Bisa Dilakukan Tanpa Menakut-Nakuti Anak
Kepada para orang tua jangan dibiasakan melakukan goshting culture atau menakutin anaknya hanya untuk mendapat kepatuhanya.
Risikonya besar, lambat laun pikiran kecil cerdasnya akan mereduksi tingkat kepercayaanya pada kita.
Daripada bilang “mainya udahan yuk, nanti ada genderuwo”, akan lebih baik diganti dengan mengatakan “sudah gelap nak, udahan yuk sepedahanya nanti susah lihat jalan”.
Daripada bilang “kalau adek tidak mau minum obat, nanti bunda panggilin bu dokter biar kamu disuntik”, lebih baik diganti dengan mengatakan “memang obat ini agak pahit dek, tapi kalau adek nurut dan mau minum, bakalan sembuh dan bisa main bareng temen lagi”.
Cara terbaiknya adalah mengajak bicara anak, memberikan penjelasan secara logis sesuai kemampuanya.
Menakuti anak sama dengan main-main dengan pengembangan kepribadiana anak dalam jangka panjang. Anak akan patuh karena merasa perlu patuh, bukan karena rasa takut.
Demikian bahasan terkait bahasa goshting culture yang ditulis ulang dengan beberapa perubahan redaksi dari utas twitter @WidyoLita
Sumber foto: https://www.freepik.com/macrovector